Setiap bulan Ramadhan
layar televisi kita selalu dipenuhi atribut atau tanda islami, dari
iklan, sinetron, hingga acara-acara yang disajikan.
Padahal, sebagaimana kita ketahui, tayangan religius tersebut bertutur dalam dimensi hampa. Narasi keagamaan yang ditampilkan tak ubahnya semakin mengerdilkan fungsi dan peran agama di tengah masyarakat. Maka, tidak aneh jika kita menyebut tayangan Ramadhan di televisi tidak mendidik.
Mitos
Dalam The Consumer Society: Myths & Structures, Jean Baudrillard menganalogikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan simbol yang dipuja dan disembah.
Jika dahulu ada pohon, patung, hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultus-kultus sendiri, seperti terhadap kemasan benda-benda , citra (image), televisi, serta konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth) (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed:2005).
Kegelisahan Baudrillard ini semakin tampak pada bulan Ramadhan. Masyarakat disuguhi sistem tanda yang menyesatkan, ambil contoh dalam sinetron religius dan kuis Ramadhan.
Sinetron religius yang diputar saat Ramadhan, mengutip pendapat Kuntowijoyo, tidak lebih dari pengagung terhadap mitos-mitos (myths). Periodisasi masyarakat, menurut Pak Kunto, adalah mitos, ideologi, dan ilmu. Masyarakat Indonesia yang sudah merdeka 65 tahun ini ternyata belum mampu keluar dari periode mitos yang membelenggu.
Kuntowijoyo (2002) menyatakan, mitos tidak perlu ada pengalaman. Mitos itu dituturkan secara subyektif, dalam arti kebenarannya hanya berlaku di masyarakatnya dan tak ada kaitannya antara pengalaman dan penuturan.
Sinetron religius pun demikian. Sinetron religius yang diilhami dari kisah-kisah nyata dituturkan secara subyektif. Tidak ada orang yang tahu selain yang membuat cerita-cerita tersebut.
Guna mengakhiri periode mitos, Pak Kunto menawarkan demitologisasi (peniadaan mitos). Demitologisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, ilmu pengetahuan harus dapat menjelaskan hal yang sebenarnya mengenai sinetron religius tersebut. Dengan ilmu, seseorang dapat membedakan antara yang hak (benar) dan batil (salah).
Kedua, memurnikan ajaran agama (puritanisme). Dengan gerakan puritanisme yang banyak dipelopori Muhammadiyah, sinetron religius tersebut dapat ditekan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesyirikan baru di tengah masyarakat.
Ketiga, sejarah dan seni. Sejarah yang bersifat rasional dan faktual akan dapat menangkal mitos-mitos di masyarakat. Demikian pula dengan seni. Seni bersifat konkretisasi dari yang abstrak. Hal itu tentu akan sangat bertentangan dengan mitos yang bersifat abstraksi (Benni Setiawan:2005)
Pelecehan intelektual
Demikian pula dengan kuis Ramadhan. Kuis Ramadhan dengan hadiah jutaan rupiah tidak lebih sebagai bentuk pelecehan intelektualitas manusia. Betapa tidak, berbagai pertanyaan yang diberikan tidak perlu kita pikirkan secara matang. Pertanyaan yang diberikan pun sering kali sudah dijawab sendiri oleh presenter atau pembawa acara.
Hal ini merupakan periode pelecehan intelektualitas yang sangat parah. Manusia Indonesia dianggap bodoh. Pasalnya, dengan menjawab pertanyaan yang remeh-temeh ia sudah mendapatkan uang jutaan rupiah. Tidak perlu belajar, banyak membaca buku, menulis paper, diskusi, dan meneliti.
Maka, tidak aneh jika agama menjadi barang dagangan yang paling laku saat Ramadhan. Semua pihak menggunakan label dan simbol agama untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Padahal, Max Weber (1864-1920) menyebut agama sebagai motor perubahan sosial. Maka dari itu, agama sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebab, dengan agama, perubahan sosial akan terus terjadi seiring dengan perubahan zaman.
Namun, jika agama sudah menjadi mitos dan diperjualbelikan dalam masyarakat konsumtif, sulit baginya melakukan perubahan sosial. Alih-alih melakukan perubahan sosial, menjadikan masyarakat melek realitas saja sangat sulit.
Televisi telah membutakan manusia. Ia telah menjadi Tuhan baru di tengah kemajuan zaman yang semakin cepat. Meminjam istilah Baudrilliard, manusia sekarang dipaksa menonton televisi sampai mati. Setiap bangun tidur hingga tidur lagi selalu ada acara di televisi, apalagi pada bulan Ramadhan. Ketika manusia sudah tertidur, mereka ditemani televisi yang selalu hidup hingga mereka terjaga lagi.
Maka, tidak aneh jika setiap bulan Ramadan nuansa religius terasa gamang dan tanpa arti. Masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa untuk menoleh ke arah kiblat televisi. Masyarakat sekarang tidak lagi seperti zaman dahulu yang selalu mengunjungi masjid dan mengaji (tadarus Al Quran, iktikaf) hingga larut malam. Masyarakat sekarang telah dibutakan oleh televisi.
Pada akhirnya, matikan televisi Anda sebelum Anda dimatikan-Nya.
Padahal, sebagaimana kita ketahui, tayangan religius tersebut bertutur dalam dimensi hampa. Narasi keagamaan yang ditampilkan tak ubahnya semakin mengerdilkan fungsi dan peran agama di tengah masyarakat. Maka, tidak aneh jika kita menyebut tayangan Ramadhan di televisi tidak mendidik.
Mitos
Dalam The Consumer Society: Myths & Structures, Jean Baudrillard menganalogikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan simbol yang dipuja dan disembah.
Jika dahulu ada pohon, patung, hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultus-kultus sendiri, seperti terhadap kemasan benda-benda , citra (image), televisi, serta konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth) (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed:2005).
Kegelisahan Baudrillard ini semakin tampak pada bulan Ramadhan. Masyarakat disuguhi sistem tanda yang menyesatkan, ambil contoh dalam sinetron religius dan kuis Ramadhan.
Sinetron religius yang diputar saat Ramadhan, mengutip pendapat Kuntowijoyo, tidak lebih dari pengagung terhadap mitos-mitos (myths). Periodisasi masyarakat, menurut Pak Kunto, adalah mitos, ideologi, dan ilmu. Masyarakat Indonesia yang sudah merdeka 65 tahun ini ternyata belum mampu keluar dari periode mitos yang membelenggu.
Kuntowijoyo (2002) menyatakan, mitos tidak perlu ada pengalaman. Mitos itu dituturkan secara subyektif, dalam arti kebenarannya hanya berlaku di masyarakatnya dan tak ada kaitannya antara pengalaman dan penuturan.
Sinetron religius pun demikian. Sinetron religius yang diilhami dari kisah-kisah nyata dituturkan secara subyektif. Tidak ada orang yang tahu selain yang membuat cerita-cerita tersebut.
Guna mengakhiri periode mitos, Pak Kunto menawarkan demitologisasi (peniadaan mitos). Demitologisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, ilmu pengetahuan harus dapat menjelaskan hal yang sebenarnya mengenai sinetron religius tersebut. Dengan ilmu, seseorang dapat membedakan antara yang hak (benar) dan batil (salah).
Kedua, memurnikan ajaran agama (puritanisme). Dengan gerakan puritanisme yang banyak dipelopori Muhammadiyah, sinetron religius tersebut dapat ditekan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesyirikan baru di tengah masyarakat.
Ketiga, sejarah dan seni. Sejarah yang bersifat rasional dan faktual akan dapat menangkal mitos-mitos di masyarakat. Demikian pula dengan seni. Seni bersifat konkretisasi dari yang abstrak. Hal itu tentu akan sangat bertentangan dengan mitos yang bersifat abstraksi (Benni Setiawan:2005)
Pelecehan intelektual
Demikian pula dengan kuis Ramadhan. Kuis Ramadhan dengan hadiah jutaan rupiah tidak lebih sebagai bentuk pelecehan intelektualitas manusia. Betapa tidak, berbagai pertanyaan yang diberikan tidak perlu kita pikirkan secara matang. Pertanyaan yang diberikan pun sering kali sudah dijawab sendiri oleh presenter atau pembawa acara.
Hal ini merupakan periode pelecehan intelektualitas yang sangat parah. Manusia Indonesia dianggap bodoh. Pasalnya, dengan menjawab pertanyaan yang remeh-temeh ia sudah mendapatkan uang jutaan rupiah. Tidak perlu belajar, banyak membaca buku, menulis paper, diskusi, dan meneliti.
Maka, tidak aneh jika agama menjadi barang dagangan yang paling laku saat Ramadhan. Semua pihak menggunakan label dan simbol agama untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Padahal, Max Weber (1864-1920) menyebut agama sebagai motor perubahan sosial. Maka dari itu, agama sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebab, dengan agama, perubahan sosial akan terus terjadi seiring dengan perubahan zaman.
Namun, jika agama sudah menjadi mitos dan diperjualbelikan dalam masyarakat konsumtif, sulit baginya melakukan perubahan sosial. Alih-alih melakukan perubahan sosial, menjadikan masyarakat melek realitas saja sangat sulit.
Televisi telah membutakan manusia. Ia telah menjadi Tuhan baru di tengah kemajuan zaman yang semakin cepat. Meminjam istilah Baudrilliard, manusia sekarang dipaksa menonton televisi sampai mati. Setiap bangun tidur hingga tidur lagi selalu ada acara di televisi, apalagi pada bulan Ramadhan. Ketika manusia sudah tertidur, mereka ditemani televisi yang selalu hidup hingga mereka terjaga lagi.
Maka, tidak aneh jika setiap bulan Ramadan nuansa religius terasa gamang dan tanpa arti. Masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa untuk menoleh ke arah kiblat televisi. Masyarakat sekarang tidak lagi seperti zaman dahulu yang selalu mengunjungi masjid dan mengaji (tadarus Al Quran, iktikaf) hingga larut malam. Masyarakat sekarang telah dibutakan oleh televisi.
Pada akhirnya, matikan televisi Anda sebelum Anda dimatikan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar